Archive for the ‘Logika’ Category


Tanggapan yang selalu saya terima dari orang-orang setelah mereka mengetahui dan menyadari bahwa saya adalah seorang yang kritis maka mereka menyematkan kepada saya beberapa “gelar” seperti: tukang protes, cerewet, sok cermat, dan tidak praktis. Beberapa “gelar terhomat” juga dialamatkan kepada saya setiap kali setelah orang mengetahui dan menyadari jika saya adalah orang skeptis, seperti: tidak mau percaya, memperumit hal yang sebenarnya sederhana, dan banyak tanya. “Gelar-gelar terhormat” tersebut tidak sepenuhnya salah dan tidak juga tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, diperlukan keterangan atau penjelasan di sana-sini.
Mengenai “gelar” tukang protes sebenarnya tidaklah begitu salah karena sejauh yang saya sadari diri saya memang cukup banyak melakukan protes, tetapi dalam konteks jika pandangan atau argumen seseorang tidak sejalan dengan bukti yang ada dan tidak didukung oleh akal sehat. Namun memang harus diakui bahwa frasa “tukang protes” mengandung makna yang kurang baik karena sepertinya menuduh bahwa orang yang dicap tersebut dianggap sebagai orang yang tidak pernah setuju dengan pandangan orang lain padahal sebenarnya tidaklah demikian. Artinya, saya protes jika argumen atau pandangan seseorang tidak sesuai dengan bukti dan akal sehat saya.
“Gelar” sok cermat yang seringkali dialamatkan kepada saya juga perlu diperjelas karena nuansanya cenderung negatif. Bagi saya, jika seseorang dikatakan sok cermat artinya orang itu sesungguhnya tidaklah mampu berpikir cermat, tetapi mengklaim telah berpikir secara cermat. Oleh karena itu, jika istilah “sok cermat” tersebut dialamatkan kepada saya, maka penjelasannya menjadi demikian: Saya bukanlah seseorang yang “sok cermat” dalam pengertian sempit dan negatif seperti di atas melainkan seseorang yang selalu berusah berpikir cermat dengan mendasarkan cara berpikir pada bukti, logika, dan akal sehat.
Penjelasan mengenai cara berpikir saya itu membuat saya dijuluki sebagai orang yang tidak praktis. Saya menyadari dan mengakui bahwa dalam beberapa hal saya bukanlah orang yang praktis khususnya jika berkaitan dengan cara berpikir, baik diri sendiri maupun orang lain. Saya cenderung tidak bisa dan tidak mau menerima penjelasan-penjelasan atau argumen-argumen sederhana/praktis mengenai hal-hal yang bagi saya rumit. Bagi saya banyak hal yang terjadi di sekitar kita tidak bisa dijelaskan atau dijawab secara sederhana. Adagium yang pernah saya dengar dan baca mengenai hal ini adalah: Untuk setiap hal rumit yang dijelaskan secara sederhana, maka penjelasan itu salah. Ini tidak berarti bahwa hal-hal yang rumit harus dijelaskan secara rumit melainkan hal-hal yang rumit haruslah dijelaskan dengan menggunakan beberapa hal yang sudah saya utarakan di atas sehingga hal-hal rumit tersebut bisa dipahami secara jelas. Orang seringkali mencampuradukkan antara penjelasan yang tidak sederhana dan bahasa/kata-kata sulit. Yang seharusnya dicapai oleh seseorang adalah penjelasan yang tidak menyederhanakan masalah sekaligus menghindari penggunaan bahasa/kata-kata yang sulit agar setiap orang bisa memahami permasalahan yang ada tanpa menyederhanakan masalah dan penjelasannya.
Mengenai “gelar-gelar terhormat” dalam kaitannya dengan skeptisisme yang saya miliki, maka sesungguhnya saya bukanlah seseorang yang tidak mau percaya melainkan seseorang yang tidak mudah percaya pada pernyataan atau informasi yang diberikan orang lain. Oleh karena itu, saya membutuhkan berbagai bukti yang relevan sebelum saya mempercayai suatu hal. Saya berusaha tidak terburu-buru dalam memberikan keputusan atau penilaian terhadap sesuatu sebelum saya memperoleh berbagai bukti relevan yang didukung oleh akal sehat saya. Dengan demikian, saya bukanlah seorang yang tidak mau percaya, tetapi tidak mudah percaya, baik terhadap otoritas maupun prasangka-prasangka saya. Saya selalu menguji berbagai informasi, argumen, dan prasangka terhadap bukti-bukti, pengetahuan yang saya miliki, dan akal sehat saya. Dan pengujian itu saya lakukan tanpa henti dan tanpa standar ganda.
Sedangkan “gelar” terakhir, yakni banyak tanya tidak sepenuhnya saya tolak karena saya akui memang banyak bertanya. Namun hal itu saya lakukan demi memperoleh data, penjelasan/keterangan, dan definisi yang jelas supaya dalam menilai sesuatu diperoleh bukti yang relevan. Sesungguhnya “banyak tanya” bukanlah sesuatu yang negatif asalkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sesuai dengan hal yang sedang dibahas/dibicarakan. Pertanyaan yang diajukan secara tepat dan cermat merupakan langkah awal yang sangat penting dalam upaya seseorang menggali, mencari, menemukan, memahami, dan menjelaskan sesuatu yang telah membuatnya mempertanyakan hal tersebut.
Dengan demikian, bagi saya, kritisisme dan skeptisisme adalah dua hal yang saling terkait dan tidak bisa dilepaskan. Menurut saya, skeptisisme adalah aplikasi dari cara berpikir kritis yang berupaya memahami, menjelaskan, dan menilai berbagai klaim, informasi, dan pandangan. Kritisisme digunakan untuk menilai apakah sesuatu itu benar atau salah. Jadi, kritisisme dan skeptisisme adalah dua hal yang positif, berguna, dan tidak berbahaya. Dua hal tersebut “berbahaya” buat mereka yang tidak bisa atau tidak mau berbeda pendapat dan hidup dalam fundamentalisme.

Berikut adalah ciri orang yang berpikir kritis menurut pandangan saya:
  • Selalu berupaya memahami, menjelaskan, dan menilai berbagai klaim, informasi, dan pandangan menggunakan berbagai bukti yang disandarkan pada akal sehat.
  • Mengandalkan dan menggunakan pengetahuan yang ada.
  • Mengawasi emosi dan berbagai prasangka.
  • Mampu mengenali berbagai kesalahan berpikir (logika), baik dalam argumen orang lain maupun argumen sendiri.
  • Mampu menggunakan Pisau Occam (Ockham) secara tepat.

Memperlemah

Posted: 19/03/2010 in Agama, Berpikir Kritis, Filsafat, Logika
Setiap kali bertemu orang-orang beragama yang “keras” saya selalu mendengar beberapa pernyataan mengenai tuhan, seperti berikut:

Tuhan ada karena terdapat di dalam kitab suci.” (Argumen yang berdasar pada otoritas tertentu.)

Tuhan saya rasakan hadir dalam hati saya.” (Argumen yang berdasar pada pengalaman pribadi.)

Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia yang begitu terbatas.” (Argumen yang berdasar pada keterbatasan kata-kata manusia.)

Tuhan tidak bisa dijelaskan, baik oleh akal manusia maupun bukti-bukti karena pengetahuan manusia sangat terbatas.” (Argumen yang berdasar pada keterbatasan pengetahuan manusia.)

Tuhan adalah penyayang.” (Argumen yang berdasar pada suatu prinsip yang abstrak.)

Tuhan dipercaya sebagian besar orang di dunia.” (Argumen yang berdasar pada angka/mayoritas/kuantitas.)

Berikut adalah beberapa pertanyaan kritis saya terhadap semua pernyataan di atas:

* Jika “tuhan” terdapat dalam berbagai kitab suci, bukankah kitab suci ditulis oleh manusia? Jika demikian, bukankah yang orang-orang baca dalam kitab suci merupakan pengalaman atau refleksi atau tafsiran orang lain mengenai tuhannya dalam hubungannya dengan konteks kehidupan di masa tertentu yang belum tentu sama dengan konteks kehidupan masa kini? Walaupun lema “tuhan” ditemukan dalam sebuah tulisan (buku), itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa tuhan itu ada. Seandainya tuhan pun ada, bagaimana orang dapat mengetahui bahwa tuhan yang ditulis dan disembah oleh orang lain dalam zaman yang berbeda adalah tuhan yang sama yang dibaca dan disembah oleh para pengikutnya dari zaman sekarang?

* Jika “tuhan” bisa dirasakan kehadirannya dalam hidup seseorang, bagaimana membuktikan bahwa hal itu sungguh terjadi? Apakah ada tolok ukur tertentu (yang pasti)? Jika ada, apakah yang bisa dijadikan tolok ukur tersebut? Penelitian psikologi terkini mengatakan bahwa apa yang banyak orang sebut dengan “perasaan” sesungguhnya tidak lebih dari emosi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Artinya, emosi setiap makhluk hidup berbeda karena bergantung pada kondisi biologis, fisik, dan sosiologis di mana orang itu hidup. Pengalaman pribadi adalah salah satu unsur penting dalam hidup setiap orang. Namun, pengalaman tersebut tidak boleh dijadikan sebagai kata akhir dalam menjelaskan semua hal dalam hidup manusia. Mengapa demikian? Karena pengalaman hidup manusia sangat bersifat subjektif akibat pengaruh dari berbagai emosi yang dimiliki masing-masing orang.

* Jika “tuhan” tidak bisa dijelaskan menggunakan kata-kata manusia akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia, maka harus dijelaskan menggunakan kata-kata siapa atau apakah “tuhan” itu? Apakah memang tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan “tuhan” sehingga yang muncul berulang-ulang hanyalah kata-kata, seperti: “ajaib”, “rahasia”, atau “misteri”? Mengapa manusia bisa mengucapkan kata “ajaib”, “rahasia”, dan “misteri” untuk menjelaskan “tuhan”, tetapi sepertinya kehabisan kata untuk menjelaskannya lebih lanjut. Bukankah kata “tuhan” hanya ditemukan/diciptakan dan diucapkan oleh manusia? Lalu, mengapa manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang sesungguhnya ditemukan/diciptakan dan diucapkan olehnya? Atau, mungkin manusia saja yang terlalu malas menjelaskan “tuhan” itu.

* Jika “tuhan” tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, maka bisa dijelaskan oleh apakah “tuhan” itu? Harus disadari penuh bahwa memang pengetahuan manusia terbatas, namun apakah hal tersebut harus selalu dijadikan alasan untuk “menolak” menjelaskan “tuhan”? Apakah keterbatasan manusia perlu dipandang sebagai suatu penghalang atau hambatan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menjelaskan “tuhan”-(nya)? Bukankah “tuhan” ada sebagai bagian dari “pengetahuan” yang dimiliki manusia, setidaknya bagi mereka yang menyembah dan mempercayainya? Tentu ya. Oleh karena itu, baiklah manusia menjelaskan “tuhan” menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.

* Jika “tuhan” digambarkan sebagai figur yang penyayang, mengapa figur “tuhan” dalam beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) tulisan di kitab suci digambarkan sebagai figur yang keras, kejam, pemarah, dan pencemburu? Bukankah gambaran abstrak tersebut bertolak belakang dengan beberapa gambaran tersebut? Belum lagi jika ditambah dengan sikap para penyembah dan pengikutnya yang tidak jauh berbeda dari gambaran mengenai tuhannya sendiri.

* Jika “tuhan” dipercaya sebagian besar orang di dunia, bukankah hal tersebut tidak membuktikan apa-apa mengenai “tuhan”? Angka/kuantitas tidak berarti apa-apa karena belum tentu suatu hal yang dipercaya benar oleh sebagian besar orang membuat hal tersebut benar adanya. Sama sekali tidak ada hubungan antara angka/jumlah/kuantitas orang yang mendukung suatu hal dan hal itu sendiri. Banyaknya orang tidak menentukan benar atau salahnya suatu subjek, tetapi data dan akal sehatlah yang menentukan penilaian seseorang, apakah subjek tersebut benar atau salah. Bukankah sebuah adagium mengatakan: “Yang terpenting bukan kuantitasnya melainkan kualitasnyalah yang terutama”. Jika demikian, pertanyaannya adalah: apakah kualitas para penyembah dan pengikut yang disebut tuhan itu baik? Jika ya, coba tolong ingat kembali berbagai pertikaian yang terjadi antar para penyembah tuhan itu. Dengan demikian, argumen ini pun sangatlah lemah karena sama sekali tidak didukung oleh alasan-alasan kuat yang relevan, malah bisa menjadi bumerang terhadap para penyembah dan pengikut tuhan.

Argumen-argumen dibuat dan dikemukakan untuk mendukung dan memperkuat suatu posisi, bukannya malah memperlemah posisi tersebut. Mendengar argumen-argumen yang biasa diucapkan orang-orang beragam bukannya memperkuat argumen mereka melainkan sesungguhnya memperlemah argumen mereka sendiri. Argumen juga dibuat untuk menjelaskan dan memperjelas sebuah pandangan atau subjek, bukannya mengaburkan pandangan atau subjek tersebut.

Mengapa Percaya?

Posted: 16/03/2010 in Berpikir Kritis, Logika
Saya : Kenapa lu mempercayai hal itu?

Teman : Karena gua merasakannya.

Saya : Maksudnya “merasakan”?

Teman: Ya, karena gua merasakan bahwa hal itu memang benar adanya.


Saya : Maksudnya “benar” itu apa?

Teman : Hal yang gua percayai itu benar karena gua ngerasain itu benar.

Saya : Apakah pernah sekali aja lu coba mempertanyakan apa yang selama ini lu rasa benar dan percayai itu?

Teman : Buat apa gua pertanyain? Gua udah yakin sama apa yang gua rasain benar itu.

Saya : Apakah pernah sekali aja terlintas di benak lu kalo yang selama ini lu rasa benar dan percayai itu keliru?

Teman : Ga mungkin itu. Karena banyak orang juga merasakan apa yang gua rasain dan itu berarti benar.

Saya : Yang selama ini lu rasain benar dan percayai itu kan sebenarnya turunan dari orangtua lu dan lu udah dibentuk dari sejak kecil dalam lingkungan yang mendorong (baca: mengindoktrinasi) lu untuk mempercayai hal itu. Gimana lu menanggapi pernyataan gua tadi?

Teman : Ya, emang turunan, tapi seiring berjalannya waktu gua sendiri juga udah membuktikan kalo yang gua percayai itu emang benar dan ga salah.

Saya : Apa yang udah lu lakukan untuk “membuktikan” bahwa yang selama ini lu percayai itu emang benar dan ga salah?

Teman : Begitu banyak orang merasakan dan mengalami seperti yang gua rasain dan alami.

Saya : Apa itu yang dirasakan dan dialami itu?

Teman : Tenang, bahagia, merasa diberkati, dikasihi, dan jadi orang yang lebih baik.

Saya : Bukankah hal-hal yang lu rasain dan alami itu merupakan hal umum. Artinya, banyak orang lain juga merasakan hal yang serupa, tetapi tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan lu. Gimana menurut lu?

Teman : Biarin aja. Yang penting, gua yakin kalo yang gua rasain itu benar dan ga salah. Dan yang paling penting dan benar itu apa yang gua percayai.

Saya : Masalahnya, banyak orang memiliki kepercayaan berbeda dengan lu, tapi juga merasakan dan mengalami hal-hal seperti yang lu bilang tadi. Gimana tuh?

Teman : Yah, mereka masih dikasih waktu untuk menyadari kalo yang mereka percayai itu salah. Gua cuma kasih contoh melalui sikap gua yang benar aja. Yah, seterusnya terserah mereka mo gimana. Semoga aja suatu saat mereka sadar dan mempercayai apa yang gua percayai.

Saya : Kenapa mereka harus mempercayai apa yang lu percayai?

Teman : Ga harus sih . . . karena emang cuma beberapa orang yang terpilih dan sisanya, bahkan kebanyakan ga.

Saya : Maksudnya “terpilih” dan “ga terpilih itu apa? Apa aja syarat-syaratnya untuk bisa jadi yang terpilih itu?

Teman : Ya, yang terpilih itu jadi bisa selamat sedangkan yang ga terpilih, yah, ga selamat. Syaratnya gampang aja kok, percaya seperti gua aja.

Posisi

Posted: 14/03/2010 in Berpikir Kritis, Logika
Beberapa waktu lalu saya menulis “BERDEBAT SECARA BIJAK”. Tulisan kali ini berusaha melengkapi tulisan tersebut. Dalam diskusi, dialog, apalagi debat mengetahui dan memahami posisi masing-masing, baik diri sendiri maupun (terlebih) pasangan diskusi/dialog adalah hal yang sangat penting. Akan lebih baik jika mengetahui dan memahami posisi tersebut dilakukan sebelum berdiskusi/berdialog sehingga masing-masing pihak jelas dengan posisinya. Mengetahui dan memahami posisi masing-masing tersebut tidak terbatas pada kemampuan menyebut atau menamakan posisi seseorang, misalnya: saya seorang yang berpikir terbuka sedangkan dia berpikir tertutup atau saya seorang moralis sedangkan dia imoral. Meskipun hal tersebut sudah cukup baik, namun tidak begitu membantu pihak-pihak yang berdiskusi/berdialog. Oleh karena itu, menamakan atau menyebut posisi seseorang tidaklah cukup melainkan dibutuhkan lebih dari itu. Ini artinya pihak-pihak yang berdiskusi/berdialog harus mampu, bukan saja menjelaskan posisinya, tetapi juga menjelaskan posisi pasangan diskusi/dialognya. Dengan demikian, apakah yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang hendak atau sedang berdiskusi atau berdialog, bahkan berdebat?

Lakukanlah taksonomi! Apakah “taksonomi” itu? Taksonomi adalah upaya mengklasifikasikan suatu hal. Awalnya, taksonomi dilakukan pada tumbuhan dan hewan. Taksonomi adalah aktivitas saintifik dalam mengklasifikasi semua hal. Dengan demikian, taksonomi merupakan sebuah cara atau alat yang sangat penting dilakukan demi memperoleh informasi yang cermat serta memperluas pengetahuan bagi mereka yang melakukannya.

Beberapa kekuatan taksonomi:

1. Membantu orang dalam menganalisis data-data yang relevan.
2. Membantu orang selalu terhubung dengan dunia nyata.
3. Membantu orang memperhatikan pola-pola yang saling berkaitan.
4. Membantu orang berpikir secara runut sehingga dapat membangun model-model sehingga memperdalam sekaligus memperluas wawasan/pengetahuan seseorang mengenai hal tertentu.

Beberapa kelemahan taksonomi:

1. Seringkali terjebak dalam reduksionisme. Artinya, terlena pada hal-hal yang sangat kecil dari suatu hal yang diklasifikasi.
2. Dapat menggiring orang menjauhi kenyataan yang terjadi akibat terlena pada hal-hal yang sangat kecil.
3. Bisa mengalihkan orang dari hubungan-hubungan kompleks yang terjalin di antara berbagai subjek.

Apa yang harus dilakukan terhadap taksonomi?

1. Taksonomi harus tetap dilakukan, tetapi bersifat sangat cair atau fleksibel. Artinya, orang harus selalu awas terhadap berbagai bukti baru yang muncul. Dan gunakanlah berbagai bukti baru tersebut untuk memperkaya klasifikasi yang sedang dilakukan.
2. Gunakanlah beberapa taksonomi dalam menganalisis suatu hal, jangan hanya satu.
3. Ujilah selalu taksonomi-taksonomi yang dilakukan menggunakan berbagai data terkini.
4. Jangan biarkan taksonomi-taksonomi tersebut menjadi satu-satunya cara dalam memandang sebuah subjek atau suatu kenyataan, tetapi gunakanlah akal sehat yang ditopang oleh pikiran yang kritis.

Setelah memperhatikan penjelasan mengenai taksonomi di atas, mungkin orang akan berkata, “Hanya mau berdiskusi/berdialog saja kok rumit banget, harus gunakan taksonomi-taksonomi segala!” Jika dilihat sepintas sepertinya rumit. Namun, tidak demikian ketika orang mencoba mempraktikkan hal tersebut setiap kali berdiskusi/berdialog/berdebat dengan orang lain. Taksonomi sangat penting bahkan untuk hal-hal yang sangat kecil atau bahkan remeh menurut pandangan banyak orang. Ketika berdiskusi/berdialog masing-masing pihak harus bersama-sama menjelaskan dan menentukan berbagai istilah bahkan kata yang digunakan sampai masing-masing pihak sepakat sehingga diskusi dapat dimulai atau dilanjutkan.

Taksonomi harus dilakukan agar masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog memiliki informasi yang jelas (tidak samar-samar) mengenai, bukan saja penggunaan berbagai istilah atau kata tertentu, tetapi juga sudut pandang masing-masing pihak. Taksonomi dilakukan supaya masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog bisa selalu mengecek/menguji/menilai kejelasan hubungan antara berbagai data yang ditemukan dan kenyataan yang terjadi. Tentu, taksonomi dilakukan demi memperoleh kejelasan mengenai posisi masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog sehingga diskusi/dialog yang dilakukan tidak mengarah atau berakhir pada adu mulut/perang kata-kata yang tiada manfaatnya. Karena sekali lagi, tujuan terutama diskusi atau dialog, bahkan debat sesungguhnya bukanlah untuk mencari siapa yang menang, apalagi siapa yang tepat atau benar melainkan menemukan kebenaran.

Argumen Induktif

Posted: 26/01/2010 in Logika
Tulisan kali ini akan membahas secara sederhana argumen induktif untuk melengkapi pembahasan mengenai argumen deduktif yang telah dibahas dalam tulisan sebelumnya.

Sebuah argumen induktif tidak membangun kesimpulan (-kesimpulannya) atas dasar kepastian melainkan premis-premis yang dibuatnya melahirkan kesimpulan yang sangat mungkin. Sebuah argumen induktif tidak berbicara mengenai kesahihan atau ketidaksahihan kesimpulan (-kesimpulannya) melainkan, apakah kesimpulan tersebut lemah atau kuat, baik atau tidak baik. Meskipun jika premis-premis yang dibuatnya benar dan memiliki dasar yang sangat kuat bagi kesimpulan, namun kesimpulan tersebut tidaklah pasti. Sebuah argumen induktif yang paling kuat tidaklah semeyakinkan atau menentukan seperti sebuah argumen deduktif yang masuk akal. Berikut adalah contoh yang sederhana:

1. Sebagian besar orang Kristen merayakan Natal dan pergi ke gereja setiap hari Minggu.

2. Budi adalah orang Kristen.

3. Dengan demikian, Budi merayakan Natal dan pergi ke gereja setiap hari Minggu.

Di atas adalah contoh sebuah argumen induktif yang cukup baik karena, anggap saja, premis-premisnya benar. Dengan demikian, kesimpulannya cenderung benar daripada salah. Namun, sekarang kita perhatikan contoh berikut:

* Budi adalah anggota Gereja Advent.

Sementara kita ketahui bahwa:

* Anggota Gereja Advent tidak merayakan Natal dan tidak pergi ke gereja pada hari Minggu.

Setelah memperhatikan contoh di atas, maka argumen induktif sangatlah lemah karena berdasarkan contoh di atas, sangat mungkin Budi tidak merayakan Natal dan pergi ke gereja pada hari Minggu.

Kesahihan dan Kebenaran

Ketika berbicara argumen deduktif dan induktif, maka sesungguhnya orang sedang membicarakan kesahihan atau ketidaksahihan dan kebenaran atau ketidakbenaran sebuah argumen. Ketidaksahihan sebuah argumen hanya memiliki kombinasi premis-premis yang benar atau salah dan kesimpulan (-kesimpulan) benar atau salah. Sebuah argumen yang sahih juga bisa memiliki semua kombinasi tersebut, tetapi tidak bisa memiliki premis-premis yang salah sekaligus sebuah kesimpulan yang salah.

Dengan demikian, sebuah proposisi (premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan) bisa benar atau salah. Namun sebuah argumen tidak demikian. Adalah tugas ilmu pengetahuan dan filsafat untuk menentukan, apakah premis-premis sebuah argumen itu benar atau salah, sementara tujuan logika untuk menentukan, apakah sebuah argumen deduktif itu sahih atau tidak sahih, dan apakah, sebuah argumen induktif itu kuat atau lemah.

Argumen Deduktif

Posted: 26/01/2010 in Logika

Ada dua macam argumen yang orang selalu kemukakan, entah disadari maupun tidak disadari.

1. Argumen deduktif : premis-premis yang dikemukakan dalam argumen ini melahirkan kesimpulan yang pasti.

2. Argumen induktif : premis-premis yang dikemukakan dalam argumen ini hanya melahirkan kesimpulan yang sangat mungkin.


Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara sederhana mengenai argumen deduktif.

Jika premis-premisnya benar dan berhasil menghasilkan kesimpulan yang pasti, maka argumen tersebut sahih. Namun jika premis-premisnya benar tetapi gagal menghasilkan kesimpulan yang pasti, maka argumen tersebut tidak sahih. Berikut contohnya:

1. Semua mamalia memiliki paru-paru.

2. Semua paus adalah mamalia.

3. Dengan demikian, semua paus memiliki paru-paru.

Argumen di atas adalah argumen deduktif yang sahih karena kesimpulan yang mengikutinya memiliki kepastian jika premis-premis yang mendahuluinya benar. Dengan demikian, dalam argumen deduktif tidak mungkin premis-premis yang dibuat benar, tetapi kesimpulannya salah.

Perhatikan contoh berikut:

1. Semua binatang berkaki delapan memiliki sayap.

2. Laba-laba adalah binatang berkaki delapan.

3. Dengan demikian, laba-laba memiliki sayap.

Argumen di atas adalah benar karena jika premis-premisnya benar, maka seharusnya kesimpulannya juga benar. Namun masalahnya di sini adalah bukan karena argumen di atas tidak sahih melainkan premis-premisnya yang salah.

Sekarang perhatikan sebuah argumen yang memiki premis-premis yang benar dan sebuah kesimpulan benar yang tidak sahih:

1. Jika saya memiliki semua emas di Freeport, saya adalah orang kaya.

2. Saya tidak memiliki semua emas di Freeport.

3. Dengan demikian, saya bukan orang kaya.

Kedua premis di atas benar, tetapi kesimpulan yang mengikutinya tidak memiliki kepastian . Mengapa demikian? Karena ada banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menjadi orang kaya tanpa memiliki semua emas di Freeport.

Sebuah argumen deduktif yang sahih dengan premis-premis yang benar adalah sebuah argumen yang masuk akal. Argumen yang masuk akal seringkali disebut orang sebagai “bukti”, tetapi istilah ini juga bisa menyesatkan. Jika premis-premisnya sangat pasti, maka sebuah argumen yang masuk akal tentu melahirkan/memberikan bukti, seperti contoh berikut:

1. Semua bujang tidak/belum menikah.

2. Semua bujang adalah laki-laki.

3. Dengan demikian, semua bujang adalah laki-laki yang tidak/belum menikah.

Premis-premis yang yang diungkapkan di atas adalah pasti karena benar secara definisi/pengertian, dan argumen yang dikemukakan masuk akal, jadi kesimpulannya merupakan bukti. Namun, perhatikan contoh berikut:

1. Semua bujang tidak/belum menikah.

2. Budi adalah seorang bujang.

3. Dengan demikian, Budi tidak/belum menikah.

Contoh di atas juga merupakan sebuah argumen yang masuk akal (sebuah argumen yang sahih disertai premis-premis yang benar), tetapi kesimpulannya bukanlah bukti. Mengapa demikian? Karena premis kedua merupakan klaim empiris mengenai keberadaan sesuatu, bukan semata-mata sebuah pernyataan mengenai makna dari istilah yang digunakan. Oleh karena itu, kekeliruan mungkin saja terjadi. Misalnya, mungkin saja ketika sedang berpesiar ke Las Vegas dalam keadaan mabuk Budi menikahi seorang penghibur dan tidak ingat dengan peristiwa tersebut.

Inti argumen deduktif adalah selalu menguji dan meneliti, apakah premis-premis dalam argumen ini benar atau salah, atau sangat mungkin atau sangat tidak mungkin, dan bukannya, apakah argumen tersebut sahih atau tidak sahih. Dengan demikian, bahkan sebuah argumen deduktif tidak menawarkan 100% bukti jika salah satu premis membuat sebuah klaim mengenai keberadaan sesuatu. Harus diakui bahwa cara kerja argumen deduktif cukup sulit dipahami. Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup untuk mempelajari cara kerja argumen ini.

Argumen

Posted: 26/01/2010 in Logika
Tulisan ini berupaya menjelaskan pengertian “argumen” dalam bahasa yang sangat sederhana, tanpa menyederhanakan makna mengenai “argumen” itu sendiri.

Sebuah argumen menyajikan premis-premis (pernyataan dasar) yang seharusnya mendukung atau menjadi dasar sebuah kesimpulan. Berikut adalah contohnya:

1. Semua manusia akan mati.

2. Sokrates adalah manusia.

3. Dengan demikian, Sokrates akan mati.

Dua kalimat pertama (no. 1 dan 2) adalah premis sedangkan kalimat no. 3 adalah kesimpulannya. Ini adalah sebuah argumen deduktif yang sahih. Artinya, jika seseorang setuju dengan premis-premis yang ada, maka orang tersebut harus menerima kesimpulan yang berdasar pada pada premis-premis tersebut. Namun, tidak semua argumen disajikan dalam bentuk yang jelas disertai beberapa premis dan sebuah kesimpulan. Terkadang sebuah argumen berasal dari beberapa halaman buku dan terdiri dari premis-premis yang tersebar di berbagai tempat. Ada kalanya sebuah argumen disajikan dalam sebuah kalimat pendek, seperti berikut:

“Archimedes akan dikenang sementara Aeschylus dilupakan orang karena bahasa mati namun ide-ide matematika terus hidup”

Kalimat di atas adalah sebuah argumen. Oleh karena itu, untuk menganalisisnya orang terlebih dahulu harus menguraikan kalimat itu, seperti berikut:

1. Bahasa mati.

2. Karya Aeschylus termasuk ke dalam kategori bahasa.

3. Dengan demikian, karya Aeschylus suatu saat akan mati.

4. Ide-ide matematika tidak akan mati.

5. Karya Archimedes termasuk ke dalam kategori matematika.

6. Jadi, karya Archimedes tidak akan mati.

7. Jika demikian, karya Archimedes akan hidup lebih lama daripada karya Aeschylus.

8. Berdasarkan hal tersebut, Archimedes akan dikenang sementara Aeschylus akan dilupakan orang.

Namun, itu semua tidak membuat argumen di atas serta-merta sahih. Untuk membuatnya sahih maka dibutuhkan beberapa premis tambahan. Bukan hanya itu, orang dapat mengajukan pertanyaan (-pertanyaan) mengenai kebenaran yang terdapat dalam beberapa premis tersebut.

Orang akan menemukan argumen dalam keseharian hidupnya, bahkan dalam hal-hal yang sangat sederhana. Jadi, argumen biasa dan bisa digunakan setiap orang untuk mendukung atau menolak pandangan orang lain.

Logika

Posted: 25/01/2010 in Logika
Logika adalah suatu upaya berpikir secara cermat dan tepat mengenai berbagai argumen yang hendak dikemukakan seseorang. Logika juga dapat digunakan untuk menganalisis atau menguji argumen (-argumen) orang lain. Tujuan atau sasaran logika adalah sebisa mungkin menempatkan cara berpikir seseorang ke dalam sebuah struktur formal yang dinamakan argumen. Dengan pertolongan dan didasarkan pada logika, maka seseorang dapat menilai apakah argumen orang lain (bahkan dirinya sendiri) termasuk ke dalam kategori argumen yang baik atau argumen yang tidak baik.

Dalam pengertian tertentu, logika seperti matematika. Dalam perhitungan matematika dan logika adalah hal yang mungkin bagi seseorang untuk membuktikan ketepatan suatu hal secara 100%, namun tidak demikian halnya dalam bidang sains. Secara sederhana saya berpendapat bahwa matematika dan logika memiliki dasar yang sama, yakni sebuah struktur yang ditemukan, dipilih, dan digunakan manusia sebagai dasar bersama. Contoh sangat sederhana mengenai matematika dan logika adalah, jika saya menyebut “3”, ini berarti pada saat bersamaan saya tidak bermaksud menyebut “4”. Dan “3” ini disepakati oleh manusia lainnya bukan sebagai “4”. Sangat sederhana, bukan!

Berikut ini adalah tiga aturan dasar logika yang disepakati oleh manusia:

1. Hukum Identitas: a sama dengan a pada saat dan cara yang sama. Dengan demikian, Sokrates adalah Sokrates.
2. Hukum Non-Kontradiksi: Jika a benar, maka bukan a tidak dapat benar pada saat dan cara yang sama. Dengan demikian, jika pernyataan “Sokrates hidup” adalah benar, maka pernyataan “Sokrates tidak hidup” tidak dapat benar pada saat dan cara yang sama.
3. Hukum Menyingkirkan yang di Tengah: Salah satu, entah a atau bukan a harus benar. Tidak ada di antaranya. Jika pernyataan “Sokrates tidak hidup” adalah salah, maka pernyataan “Sokrates hidup” haruslah benar.

Setelah melihat tiga aturan dasar logika di atas mungkin ada orang yang berkomentar, “ah, terlalu sederhana!” atau “terlalu menyederhanakan logika” atau “tiga aturan dasar logika di atas dikatakan benar hanya bergantung maksud setiap orang ketika menggunakan kata-kata tersebut”. Artinya, setiap orang memiliki definisi tertentu mengenai kata-kata yang digunakannya. Untuk menanggapi tanggapan-tanggapan di atas, maka untuk no. (1) dan (2) sesungguhnya tiga aturan dasar logika yang diungkapkan di atas tidaklah menyederhanakan apalagi meremehkan logika. Sebaliknya, tiga dasar logika tersebut sengaja ditampilkan secara sederhana agar setiap orang mampu memahami cara kerja logika tanpa ketakutan akibat telah menganggapnya seperti perhitungan matematika (seperti saya ungkapkan di atas bahwa cara kerja dasar logika sangat mirip dengan matematika). Untuk menanggapi komentar no. (3), jika seseorang tidak setuju dengan cara kerja salah satu dari ketiga aturan dasar logika di atas, maka sesungguhnya yang terjadi bahwa ia menggunakan kata-kata yang sama tetapi dalam cara yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya.

Seperti telah diungkapkan di atas bahwa tujuan dan sasaran logika adalah sebisa mungkin menempatkan cara berpikir seseorang ke dalam sebuah struktur formal yang dinamakan argumen. Dengan bantuan dan berdasarkan logika-lah maka seseorang dapat menilai apakah argumen orang lain (bahkan dirinya sendiri) merupakan argumen yang baik atau argumen yang tidak baik. Apakah yang dimaksud dengan argumen? Di tulisan berikutnya akan dibahas mengenai argumen.

Jalan Menuju Kebenaran

Posted: 24/01/2010 in Logika
Setiap orang selalu mencari dan berusaha menemukan kebenaran dalam hidup ini, entah kebenaran dalam agama, kebenaran dalam ilmu pengetahuan, kebenaran dalam menjalin hubungan dengan sesama, maupun kebenaran dalam pekerjaan. Oleh karena itu, setiap orang menempuh cara dan jalannya masing-masing demi tiba pada kebenaran itu. Sebagian besar orang menggunakan pengalaman hidupnya atau perasaannya atau kesaksian dari orang lain (khususnya otoritas tertentu), bahkan juga kombinasi dari ketiga cara tersebut untuk sampai pada kebenaran yang dirindukannya. Cara-cara seperti bisa saja menolong orang untuk menemukan kebenaran, tetapi hanya terbatas pada hubungan dengan sesama ataupun dalam pekerjaan. Namun, cara-cara itu pun tidaklah pasti serta-merta dapat diterapkan seperti jika dialami oleh orang lain. Terlebih, cara-cara seperti itu sama sekali tidak dapat diandalkan jika orang hendak menemukan kebenaran di segala hal dalam kehidupan ini.

Sejarah telah mencatat dan menyaksikan bagaimana sebagian besar orang telah salah mengenai begitu banyak hal. Salah mengenai makhluk halus (roh). Salah mengenai obat-obatan. Salah mengenai kesehatan. Salah mengenai alam. Salah mengenai teori politik. Salah mengenai ekonomi. Salah mengenai psikologi. Salah mengenai lawan jenis. Salah mengenai jagat raya. Bahkan salah mengenai sejarah. Kebanyakan orang telah salah memahami sebagian besar hal yang terjadi di sekitar dirinya termasuk hidupnya sendiri.

Mengapa terjadi hal demikian? Karena sebagian besar orang telah menggunakan alat yang salah setiap kali hendak menemukan kebenaran yang dirindukannya. “Perasaan” manusia bukanlah alat yang tepat untuk menemukan dan memahami kebenaran. Itu sama saja dengan persoalan matematika yang hendak dijawab menggunakan jantung anda. Intinya, demi menjawab dan menjelaskan suatu hal, maka diperlukan alat yang tepat supaya tidak tersesat atau bahkan ngawur.

Pengalaman hidup pribadi seseorang juga tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menemukan dan memahami kebenaran. Banyak orang memiliki pengalaman yang sama mengenai banyak hal, tetapi mereka memberikan kesan dan tanggapan yang saling berbeda. Pengalaman seseorang lebih banyak berbicara dalam dan dari konteks sejarah, kepercayaan, perasaan, dan sudut pandang orang tersebut daripada berbicara mengenai kebenaran yang “terjadi di konteks yang lebih luas”, yakni dunia ini.

Kesaksian atau pernyataan atau pandangan orang lain pun tidaklah lebih baik dibandingkan perasaan dan pengalaman pribadi. Artinya, kesaksian yang berasal dari orang lain bukanlah cara yang tepat dalam upaya seseorang menemukan dan memahami kebenaran dalam konteks yang lebih luas. Masalah pertama adalah bahwa banyak orang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai suatu. hal Namun, kekurangan dan kelemahan tersebut tidak urung membuat orang tersebut terus berbicara layaknya seseorang yang telah mengetahui dan memahami dengan benar suatu hal tersebut. Ditambah, orang yang tidak kritis menerima dan mempercayai pandangan orang tersebut. Harus selalu disadari dan diingat bahwa setiap orang memiliki prasangka-prasangka walaupun dalam tingkatan yang beragam. Inilah mengapa seharusnya orang juga tidak tergesa-gesa menerima dan mempercayai pandangan otoritas-otoritas yang ada, seperti orangtua/keluarga, guru, pemuka agama, dan buku/informasi yang ada. Masalah kedua adalah setiap orang memiliki tujuan atau agenda yang hendak dicapainya. Oleh karena itu, bisa saja manusia mencoba menipu atau memanipulasi atau mengeksploitasi sesamanya demi mencapai agendanya tersebut (misalnya untuk memperkaya diri), yang semuanya berakibat pada kebodohan bagi orang yang mengalami penipuan.

Oleh karena itu, jelas, pengalaman pribadi, “perasaan”, dan kesaksian atau pernyataan orang lain bukanlah cara yang tepat untuk menemukan dan memahami kebenaran yang ada dalam dunia bahkan jagat raya ini. Ketiga cara tersebut sangat rentan membuat manusia tersesat atau tidak menyadari jika hal yang selama ini dipercayainya ternyata tidak benar. Dengan demikian, orang (tentu yang peduli dengan hal kebenaran ini) memerlukan cara yang tepat, cara yang benar demi menemukan dan memahami kebenaran dalam jagat raya, khususnya dunia ini. Cara itu disebut logika. Dengan menggunakan logika orang mampu menyaring berbagai hal yang diterimanya, baik melalui penglihatan dan pendengaran maupun pengalamannya demi sebelum tiba sampai pada kesimpulan bahwa hal-hal tersebut benar atau salah. Apakah logika itu? Akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya.